Table Of ContentA NALISIS PARIWISATA VOLUM E 7
NOMOR 2, 2006
M AJALAH ILMIAH PARIWISATA ISSN 1410 - 3729
D A F T A R I S I
PENGANTAR REDAKSI
I Made Winaya : Pelacuran Laki-laki dalam Industri Pariwisata Bali
(Studi Kasus Gigolo di Kawasan Pariwisata Kuta) ............
Koentjoro : Pelacuran : Sebuah Problema Sosial Multi Perspektif ......
I Wayan Wijayasa : Seks dalam Pariwisata : Kajian Awal Faktor-faktor yang
Berpengaruh terhadap Berkembangnya Seks
dalam Pariwisata ....................................................................
Adria Rosy Satrinne : Pelacuran dan Pariwisata (Studi Kasus Pelacuran di Bawah
Umur di Objek Wisata Kuta .................................................
I Wayan Suardana : Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Ekowisata di Kawasan
Taman Nasional Bali Barat ...................................................
Made Sukana : Postmodernisme dan Pariwisata Kerakyatan .....................
Luh Putu Kerti Pujani : Manajemen Konflik Hotel Inna Grand Bali Beach
Sanur-Bali ...............................................................................
I Made Sendra : Unda-Usuk Bahasa Jepang dalam Pariwisata (Level of
Speech in Japanese for Tourism) ..........................................
AA Sagung Kartika Dewi : Beberapa Variabel yang Berpengaruh terhadap
Produktivitas Tenaga Kerja ..................................................
I Gede Sudarta : Produktivitas Kerja Seorang Pramu Graha dalam Menata
Sebuah Kamar pada Hotel Berbintang di Bali ...................
Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat
tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi menerima
sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap
pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa
mengubah maksud dan isinya.
2 Analisis Pariwisata Volume 7, Nomor 2, 2006
Pengantar Redaksi
A N A L I S I S
ANALISIS PARIWISAT
P A R I W I S A T A
MMaajajallaahh IIllmmiaiahh P Paraiwriiwsaistaa ta
eks dan Pariwisata. Dua kata dalam ruang yang
S
PENERBIT berbeda. Sek acapkali dianggap sebagai hal
Program Studi Pariwisata yang berada dalam ruang personal, sedangkan
PUEnNiEveRrsBitIaTs Udayana pariwisata dipandang sebagai sesuatu yang berada di
PSroKg rNaom. :S 1t1u/dJi1 P4.a1r1iw/HisMa.t0a0 .02/1997 ruang publik. Namun ketika muncul rancangan
U niversitas Udayana Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP)
PENYUNTING
SK No. 11 /J14.11/HM.00.02/1997
reaksi pro kotra berdatangan. Provinsi Bali merupakan
Prof. Adnyana Manuaba, M.Hon.
Ferg.S.FIPS,SF. daerah di Indonesia yang sebagaian besar
PENANGGUNG JAWAB
(Universitas Udayana) masyarakatnya menolak RUU APP itu. Salah satu
I Putu Anom
Prof. Dr. Dra. Mardani Rata, MS. alasan penolakan itu adalah bahwa kehadiran RUU
(Universitas Udayana) APP akan membuat pariwisata Bali kian terpuruk.
PENYUNTING
Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA.
Prof. Adnyana Manuaba, M.Hon.
(Universitas Udayana)
Ferg.S.FIPS,SF. Ada gambaran situasi yang kontradiktif ketika
Prof. Dr. Michael Hitchcoch
(U(Uninvieversrsitiatys oUf dNaoyrathn aLo) ndon) mencoba mehubungkan antara seks, pariwisata dan
PProrfo. f.D Dr.r .I .ABd. rRiaant aV ickers RUU APP. Disatu sisi semua sepakat bahwa pariwisata
(U(Uninvieversrsitiatys oUf dWaoylalonnag)o ng Australia) Bali adalah pariwisata budaya yang tidak memberi
PProrfo. f.D Dr.r .D Ora.J. .M Waerhdaanntio Ruwat,a M, MS.S . toleransi pada eksploitasi seks. Namun disisi lain,
(U(Uninvieversrsitiatass U Hdaasyaannuad)i n)
terjadi penolakan besar-besaran terhadap RUU APP
PDrorf.. GDerr. aI ldWinaey Yan.J .A Mrdaiknao,p Mo WA..
yang sejatinya juga hendak memberi batasan tentang
(U(Uninvieversrsitiatass U Sdaamy aRnaat)u langi)
eksploitasi seks tersebut.
PDrorf.. MDar.d Me Sicuhkaaerls Ha,i tMchSc.o ch
(U(Uninvieversrsitiyta osf UNdoarytha nLao)n don)
P rof. Dr. Adrian Vickers Majalah Ilmiah Analisis Pariwisata Volume 7
(UPnEivMeIrMsiPtyIN o fR WEDoAlloKnSgIo ng Australia) Nomor 2 kali ini tidak bermaksud untuk mendukung
Chusmeru
Prof. Dr. O.J. Wehantouw, MS. atau menolak wacana tentang RUU APP. Edisi ini
(Universitas Hasanudin) mengkaji tinjauan kritis dan empiris tentang lika-liku
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Dr. Geraldine Y.J. Manopo W. bisnis pariwisata dan problema seks yang
I Wayan Suardana
(Universitas Sam Ratulangi)
menyertainya.
SEKRETARIS REDAKSI
PEMIMPIN REDAKSI
I.B. Astina I Wayan Wijayasa mengkaji faktor-faktor yang
Chusmeru
mempengaruhi berkembangnya seks dalam pariwisata.
ANGGOTA REDAKSI
Kontjoro melihat pelacuran sebagai sebuah prolema
WI APKuItLu APnEoMmIM PIN REDAKSI
KNetyuotm Saunw Seunnaa rta sosial multiperspektif yang dapat saja meuncul dalam
AA. Ngr. Palguna bisnis pariwisata. Sedangkan I Made Winaya dalam
SIE MKaRdEeT AAdRikIaSm RpEaDnaA KSI tesis ilmiahnya lebih menegaskan bahwa pelacuran
I.BI M. Aasdtein Kau suma Negara bisa saja merambah pada dunia laki-laki sebagai gigolo
Yayu Indrawati dalam industri pariwisata.
ANNyGoGmOanT AS uRkEmDaA AKriSdaI
I M ade Sukarsa
Mesti diakui, bahwa seks adalah realita dalam
NSyoEmKRanE TSAuRnaIArtTa
kehidupan manusia. Begitu pun pariwisata, bukan lagi
AIA W. Naygar.n P Saulgmuenrath areadi
I MDeasdaek WPuintua yIraia nti sebuah gejala. Pariwisata sudah menjadi realita,
Made Dwijaya Putra Atmaja aktivitas bahkan industri yang dapat menghidupi jutaan
I Made Adikampana
W. Sudarma manusia.
SEKRETARIAT
ALAMAT
I Wayan Sumerthareadi Persoalannya, apakah seks merupakan faktor
Program Studi Pariwisata
Desak Putu Irianti afinitas yang dapat menjadi daya tarik pengembangan
Universitas Udayana
MJal.d De RD.Rw.i jaGyoar isP uNtora. 7A Dtmenapjaa sar pariwisata ataukah industri pariwisata yang menjadikan
W. Sudarma
Telp./Fax. 62 361 223798 seks tidak lagi berada dalam ruang personal tetapi
menjadi milik publik. Inilah barangkali yang perlu terus
AGLAaMmAbaTr Depan : dikaji dan dicermati.
Phrottgpr:a/wmw Swt.ubkdsi cPaanr.icwoimsa ta Universitas
Ueddaiyt abny:a K usuma Negara, 2006
Jl . DR>R. Goris No. 7 Denpasar R e d a k s i
Te lp / Fax. 62 361 223798
1 Analisis Pariwisata Volume 7, Nomor 2, 2006
PELACURAN LAKI-LAKI DALAM INDUSTRI PARIWISATA BALI
(STUDI KASUS GIGOLO DI KAWASAN PARIWISATA KUTA)
I Made Winaya
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
The positive impact of tourism is always followed by its negative impact. This can also be
seen at Kuta tourist area. The positive impact is that more job opportunities are available
at Kuta and this, on the other hand, has invited a grreat number of people to go there to
get the jobs. Consequantly, there has been a tight competition among them. In this
situation, many of them, particularly those who are not skilled, have tried to get non formal
jobs such as becoming vendors, drink sellers beach boys and gigolo.
Key words : tourism and male prostitution
1. Pendahuluan
Perkembangan pariwisata yang pesat di Bali telah membawa dampak yang cukup
besar dalam kehidupan masyarakat Bali. Beberapa dampak positif dari kemajuan
pariwisata Bali antara lain meningkatnya lapangan usaha baik yang terkait langsung
dengan pariwisata maupun yang tidak terkait langsung dengan pariwisata. Sebagai akibat
dari peningkatan lapangan usaha ini, meningkat pula kesempatan kerja pada berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan pendapatan masyarakat yang langsung bekerja di sektor pariwisata.
Di samping hal-hal positif tersebut, sektor pariwisata juga membawa dampak negatif.
Dampak negatif tersebut dapat berupa dampak terhadap sosial-budaya, ekonomi,
lingkungan maupun psikologis. Dampak positif maupun negatif umumnya berkembang
bersamaan dengan pariwisata dan modernisasi secara global. Salah satu bentuk dampak
sosial negatif yang akhir-akhir ini keberdaannya semakin merebak adalah gencarnya
praktek prostitusi, baik prostitusi wanita (WTS) maupun pelacuran laki-laki, yang sering
diistilahkan dengan gigolo atau beach boys, kejahatan kepada tamu dan narkoba yang
banyak terjadi di daerah wisata yang terbuka sepanjang siang dan malam seperti Kuta.
Kuta, saat ini telah berkembang ke arah wujud masyarakat majemuk, dan menuju ke
arah multietnis. Akibatnya sistem kontrol sosial tradisional makin kabur dan kurang efektif
dalam fungsinya. Kontrol sosial yang cenderung melemah ini, memicu juga munculnya
berbagai bentuk perilaku anormatif seperti praktek pelacuran baik pelacuran wanita
(WTS.) maupun pelacuran laki-laki yang sering disebut beach boys atau gigolo.
Fenomena yang belakangan ini berkembang, yang sangat menarik untuk dikaji lebih
mendalam adalah munculnya pelacur laki-laki atau yang sering disebut gigolo atau beach-
boys. Sisi menarik dari pelacur laki-laki ini adalah mereka khusus hanya melayani
wisatawan mancanegara saja.
Pelacur laki-laki ini, terdiri dari tiga kelompok, yaitu 1. kelompok pelacur laki-laki
yang melayani semua wisatawan, baik Jepang, bule atau wisatawan mancanegara sesama
jenis, yaitu sesama laki-laki. 2. Pelacur laki-laki yang khusus melayani wisatawan Jepang
saja dan 3. Pelacur laki-laki yang khusus melayani wisatawan bule saja. Fenomena ini
sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam untuk memahami apa motivasi sosial
mereka, dan apa pula latar belakang sosial mereka, serta bagaimana jaringan kerja mereka
(networking mereka).
2. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui latar belakang sosial pelacur laki-laki di kawasan wisata Kuta.
b. Untuk mengetahui apakah motivasi sosial pelacur laki-laki di kawasan wisata Kuta.
3. Tinjauan Pustaka
3.1 Penelitian Terdahulu
Hingga saat ini, kepustakaan tentang pelacuran laki-laki atau gigolo masih sangat
terbatas jumlahnya, atau dapat dikatakan masih sangat langka. Hasil-hasil penelitian yang
dapat dijumpai mengenai pelacuran laki-laki atau gigolo terbatas pada kajian dari sudut
pandang kesehatan khususnya terkait dengan resiko penularan, pemahaman dan
pencegahan penyakit menular seks / PMS. dan HIV/AIDS di kalangan gigolo.
Terence H Hull bersama Endang Sulistyaningsih dan Gavin W.Jones,
menggolongkan gigolo ke dalam pelacuran, namun hanya membahas tentang sejarah dan
kondisi sosial pelacuran di Indonesia, dengan tujuan untuk melihat perubahan perilaku dan
pengorganisasian mereka dari waktu ke waktu, terutama berkaitan dengan masalah
kesehatan dan tatanan sosial, ( Vickers,1989).
Secara nasional, jumlah pelacur dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan
atau selalu mengalami pertambahan dalam hal kuantitas. Hal ini telah dicatat oleh Dinas
Sosial dan juga Polisi, di mana pada tahun 1992/1993 pelacuran yang terdaftar mencapai
jumlah 47.454 orang selanjutnya pada tahun 1993/1994 jumlah tersebut mengalami
peningkatan menjadi 65.059 orang, dan tahun 1994/1995 jumlah tersebut membengkak
menjadi 71.281 orang. Jumlah ini, adalah jumlah pelacur yang tercatat saja, sehingga
jumlah yang sesungguhnya sangat jauh lebih besar dari jumlah ini, termasuk pelacuran
terselubung, seperti panti-panti pijat atau pelacur jalanan yang sulit diketahui secara pasti.
Bila palacuran wanita seperti demikian keadaannya,dari tahun ke tahun selalu
mengalami kenaikan dalam hal kuantitas, lalu bagaimana jumlah pelacur laki-laki atau
gigolo, apakah menunjukkan hal yang sama?
Temuan Sukiartha dan kawan-kawan (1999) dari tim yayasan Citra Usadha
Indonesia, menunjukkan bahwa dari tahun 1996 sampai 1998 telah terdeteksi sebanyak
kurang lebih 958 orang gigolo di Bali telah memperoleh informasi untuk peningkatan sikap
agar berperilaku seks yang aman. Dari temuan ini, tampak jumlah gigolo di beberapa
objek wisata di Bali cukup banyak. Terlebih di objek wisata Kuta, jumlah gigolo akan jauh
lebih banyak karena objek ini jauh lebih ramai dan terbuka serta jauh lebih berkembang
dibandingkan objek-objek wisata lainnya di Bali.
3.2 Konsep : Pelacuran dan Pelacur Laki-laki
Berbicara masalah pelacuran, sama seperti membicarakan masalah purba, masalah
lama, tetapi masalah pelacuran ini, adalah masalah yang masih terasa tetap baru untuk
dibicarakan, masalah yang tetap menarik untuk didiskusikan, masalah yang masih tetap
up to date untuk dibahas. Bila pelacuran diidentikkan dengan musik atau lagu, maka
pelacuran adalah karya Bet Hoven, Mozard ataupun The Beatles, karya-karya lama yang
akan tetap menyenangkan untuk didengar, karya-karya lama yang masih sangat merdu
untuk didendangkan, bahkan karya-karya lama yang sangat menyenangkan untuk
dinikmati. Sulit untuk memberi kepastian kapan munculnya pelacuran di muka bumi
persada ini. Namun, pelacuran, konon, usianya setua peradaban manusia itu sendiri.
Pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi, ( dari bahasa Latin pro-stituere atau
pro - stauree ) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundelan, percabulan
dan pergedakan ( Kartono,1981: 203).
Sementara itu Bonger mengatakan prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan
wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian
(Bonger, 1950;16, dalam Purnomo, 1983: 10). Sedangkan Amstel menyatakan, prostitusi
adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran (Kartono,
1981:209).
Sejajar dengan pendapat atau difinisi tersebut, Iwan Bloch berpendapat, pelacuran
adalah suatu bentuk perhubungan kelamin diluar pernikahan dengan pola tertentu, yakni
kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk
persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberikan kepuasan yang
diinginkan oleh yang bersangkutan.
Sementara itu Commenge mengatakan prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu
perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan
untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang; dan wanita tersebut tidak ada
pencaharian nafkah lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar
dengan banyak orang ( Purnomo, 1983: 10-11)
Pelacuran, adalah hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda yang
dilakukan di luar tembok perkawinan dan berganti-ganti pasangan - baik dengan menerima
imbalan uang atau materi lainnya maupun tidak ( Purnomo, 5 : 1983 ). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pelacuran adalah prihal menjual diri sebagai pelacur;
penyundalan.
Menurut Encyclopedia Britanica dalam Dam Truong (1992:15), pelacuran
didefinisikan sebagai praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan
dengan siapa saja (promiskuitas) untuk imbalam berupa upah. Dengan demikian menurut
difinisi ini dalam pelacuran akan ada tiga unsur utama yaitu: pembayaran, promiskuitas
dan ketidak acuhan emosional. Adanya elemen promiskuitas, mununjukkan asumsi bahwa
hubungan seksual diterima secara moral hanya di dalam batas-batas hubungan yang
diterima secara sosial. Elemen pembayaran dan ketidak acuhan emosi merefleksikan
asumsi bahwa hubungan seksual dalam hubungan-hubungan yang diterima secara sosial
adalah bebas dari pembayaran dan melibatkan ikatan emosional.
Di samping itu Davis (1973, 55) memberi argumentasi, oleh karena pembayaran
dalam benatuk tertentu juga dapat ditemukan dalam pranata sosial lain seperti pernikahan
dan pertunangan, maka unsur promiskuitaslah yang harus ditonjolkan dalam difinisi untuk
membedakan pelacuran dari corak-corak hubungan seksual lain. Pandangan ini ternyata
diperluas oleh Polsky (Dam Truong, 1992:16). Dia mendifinisikan pelacuran sebagai
pemberian seks diluar pernikahan sebagai pekerjaan. Meskipun demikian Polsky menolak
penyertaan unsur promiskuitas karena unsur ini dalam prakteknya di masyarakat sangat
dimungkinkan mengandung bias. Dia menyatakan banyak perempuan yang terlibat
hubungan seks, tanpa terlibat unsur pembayaran, namun mereka itu tetap tidak dapat
digolongkan sebagai pelacur. Dalam Oxford Advanced Leaner’s Dictionary Of Current
English (AS. Hornby:1987:672) menyebutkan Prostitute : person who offers
herself/himself for sexual intercourse for payment.
Dari definisi-definisi tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga
unsur utama seseorang dapat dikatakan pelacur yaitu : pembayaran, promiskuitas dan
ketidakacuhan emosional. Sedangkan gigolo, beach-boys atau apa yang diistilahkan sundel
muani termasuk atau dapat dikategorikan pelacur karena di samping memenuhi ketiga
syarat tersebut juga pernyataan person who offers herself / himself for sexual inttercourse
for payment.
4. Metode Penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara mendalam
dan teknik dokumen. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan kualitatif dalam wujud
uraian.
5. Hasil dan Pembahasan
5.1 Latar Belakang Sosial Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta
Berbicara tentang pelacuran berarti berbicara tentang uang, lalu, apakah seseorang
yang melacurkan diri selalu bertujuan untuk mendapatkan uang? Beberapa faktor yang
selama ini dipahami paling mempengaruhi dalam menuntut seseorang untuk menjadi
pelacur adalah: (1) pendidikan rendah, (2) pendapatan rendah, (3) kemiskinan, (4) tidak
memiliki keterampilan, dan (5) pengangguran (Koentjoro, 2004, 84). Bila kelima faktor ini
yang terbukti menjadi pemicu seseorang menjadi pelacur, apakah demikian halnya dengan
pelacur laki-laki di pantai Kuta?
Tabel 1
Komposisi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Menurut Pendidikan Formal
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase
1 Sekolah Dasar - -
2 Sekolah Menengah Pertama 10 20
3 Sekolah Menengah Umum 40 80
4 Perguruan Tinggi - -
Jumlah 50 100
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pelacur laki-laki, 80%, sudah
mengenyam pendidikan Sekolah Menenganh Tingkat Atas atau yang sederajat, sekalipun
banyak diantara mereka yang mengatakan, bahwa mereka tidak menamatkan pendidikan
mereka. Sedangkan sebagian kecil yaitu 20% tamatan Sekolah Menengah Tingkat Pertama
dan tidak ada diantara mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi
dan tidak ada pula di antara mereka yang tamatan Sekolah Dasar.
Tabel 2
Komposisi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Menurut Daerah Asal
No. Daerah asal Desa Kecamatan Kabupaten Kota Jumlah
1 Bali - - 4 - 4
2 Jawa Timur 34 2 - 1 37
3 Jawa Barat - - 5 - 5
4 Sumatra - 4 - - 4
Jumlah 29 11 9 1 50
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagaian besar pelacur laki-laki di pantai Kuta,
68%, berasal dari desa-desa daerah pinggiran Jawa Timur, 4%diantaranya dari kota
kecamatan dan 2% dari kota. Kemungkinan penyebabnya adalah, karena jarak Bali dan
Jawa timur cukup dekat yang mengakibatkan mobilitas orang akan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan mereka dari daerah-daerah lainnya, dan sebagian besar pula dari
mereka tinggal berkelompok di daerah-daerah kumuh di Tuban dan Legian. Sedangkan
sisanya berasal dari Bali 8%, Sumatra 8% dan Jawa Barat 10%. Dari data yang tertera
dalam tabel 3 ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar, 74% pelacur laki-laki di pantai
Kuta berasal dari Jawa Timur. Dari wawancara yang penulis lakukan, sebagian besar dari
mereka, khususnya mereka yang berasal dari Jawa Timur, berasal dari desa-desa yang
sama satu dengan yang lainnya. Dari komposisi umur, 54% berusia antara 21-30 tahun,
28% berusia 15-20 tahun dan sisanya 18% berumur diatas 30 tahun. Sementara cara
mereka datang ke Kuta, sebagian besar (72%) dibawa oleh teman sedesa mereka, datang
untuk mencari kerja 10% dan mendengar informasi dari teman sebanyak 18%.
5.2 Motivasi Menjadi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta
Motivasi, adalah dorongan yang menuntut pemenuhan atas kebutuhan dasar,
sehingga motif dipengaruhi oleh situasi yang bervariasi, dengan demikian motif memegang
peran yang sangat penting dalam memahami perilaku seseorang. Kata-kata motive,
motivation, dan need dalam berbagai literatur sering digunakan secara bergantian atau
sering saling menggantikan. Para pakar cenderung menghubungkan motive dan need, dan
sering pula digunakan istilah motive, namun pada kesempatan lain menggunakan istilah
need. Menurut McClelland, dalam diri setiap orang terdapat dua motif utama yaitu, motif
biologis dan motif sosial (Koentjoro, 2004). Motif biologis adalah sisitem kebutuhan
manusia yang paling mendasar. Motif ini termasuk kebutuhan akan makanan, air, dan seks.
Tabel 3
Motivasi Menjadi Pelacur Laki-laki
No. Motifasi Jumlah (orang) Persentase
1 Cepat menghasilkan uang 26 52
2 Mencari kenikmatan seks
dengan orang asing 5 10
3 Ingin seperti teman yang sudah 19 38
jadi pengantar tamu
Jumlah 50 100
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Bila tabel 3 dicermati secara seksama, maka motifasi yang mendorong beach boys
untuk menjadi pelacur laki-laki sebagian besar 52% adalah untuk mendapatkan uang
dengan lebih cepat, dan tentunya dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan mereka
yang ingin mendapatkan kenikmatan seks dengan orang asing jumlahnya hanya 10%.
Namun sisanya 38%, menjadi pelacur laki-laki karena ingin seperti teman-teman mereka
yang telah terlebih dahulu menjadi pengantar tamu, (istilah ini, pengantar tamu digunakan
untuk orang yang bekerja sebagi pelacur laki-laki). Dari hasil wawancara mendalam, dapat
diketahui bahwa banyak diantara pelacur laki-laki yang berasal dari daerah pinggiran Jawa
timur pulang bersama wanita wistawan asing, dan hal itu sangat diidamkan oleh pemuda-
pemuda dari desa yang bersangkutan.
Motifasi para beach boys menjadi pelacur laki-laki juga sangat dipengaruhi oleh
aspirasi materi yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari jawaban mereka bahwa mereka
menjadi pelacur laki-laki untuk mendapatkan uang lebih cepat (50%). Bila jawaban ini
dikaitkan dengan jawaban nomor tiga maka sangat jelas ada hubungan yang sangat
signifikan, yaitu mereka ingin seperti teman mereka yang sudah menjadi pengantar tamu
(40%), dimana mereka sudah dapat hidup lebih baik dengan nya. Bila demikian
kenyataannya, lalu berapakah penghasilan seorang pelacur laki-laki di Pantai Kuta
sebulan?
Description:untuk membangun rumah dengan daya modern dan melengkapi perabot rumah tangga, (e) sosialisasi pelacur pada yang berkesinambungan, (c.4) perencanaan program perlakuan kepada pelacur kurang However, on Meiji period (1868), system of social class was abolished through movement